SERANG, SEBARAYA.COM – Menjelang pelaksanaan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) PT Jaminan Kredit Daerah (Jamkrida) Banten yang digelar Senin malam (30/6/2025) di Kawasan Pusat Pemerintahan Provinsi Banten (KP3B), mencuat isu panas yang mengguncang publik. Pemerintah Provinsi (Pemprov) Banten selaku pemegang saham utama dikabarkan tetap akan mempertahankan jajaran direksi Jamkrida, meskipun perusahaan tersebut mencatatkan kerugian hampir Rp1 miliar pada tahun buku 2024.
Informasi ini diperoleh dari sumber terpercaya yang menyebut bahwa telah terjadi pertemuan antara Pemprov Banten dan manajemen PT Jamkrida Banten guna membicarakan penetapan direksi yang akan diumumkan dalam RUPS tersebut. Rapat dijadwalkan berlangsung selepas Magrib dan rencananya akan dihadiri Wakil Gubernur Banten, Dimyati Natakusumah.
“Iya benar, informasinya begitu. Jajaran direksi tetap dipertahankan,” ujar sumber yang enggan disebutkan namanya.
Kabar ini langsung menuai sorotan tajam, terutama dari kalangan pengamat tata kelola dan publik Banten, mengingat sederet kontroversi yang melibatkan manajemen PT Jamkrida Banten dalam setahun terakhir.
Diketahui sebelumnya, berdasarkan laporan keuangan tahunan, PT Jamkrida Banten mencatatkan kerugian sebesar Rp957 juta pada tahun buku 2024. Namun kerugian tersebut bukan hanya disebabkan oleh tekanan bisnis, melainkan juga dugaan salah kelola dan penyimpangan yang melibatkan jajaran direksi.
Pada September 2024, Inspektorat Provinsi Banten menemukan adanya kelebihan pembayaran gaji dan honorarium kepada direksi dan komisaris yang tidak sesuai dengan SK Direksi No 001/SK/DIR/I/2024 tentang Remunerasi. Ironisnya, penetapan SK itu tidak melalui RUPS dan diduga merupakan keputusan sepihak dari manajemen.
Tak berhenti di situ, Direktur Utama Jamkrida Banten, Indriyanto Agus Wibowo, juga dilaporkan mengajukan talangan dana pengobatan pribadi sebesar Rp240 juta pasca dua kali mengalami serangan jantung. Permohonan itu disetujui melalui SK yang diduga kuat dibuat secara backdate, atau ditandatangani setelah dana dicairkan.
Pada Oktober 2024, direksi kembali mengajukan pencairan rapel gaji dan honorarium sebesar 15%, meski mereka belum lulus fit and proper test dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Persetujuan tetap diberikan oleh komisaris, namun langkah tersebut dinilai menyalahi prinsip kehati-hatian karena dilakukan sebelum memperoleh legitimasi regulator.
Di bulan April 2025, pelanggaran lain terungkap. Direksi yang baru menjabat sejak 5 September 2024 mencairkan tunjangan cuti tahunan, padahal berdasarkan SK lama tahun 2017, hak tersebut hanya diberikan kepada pegawai dengan masa kerja minimal satu tahun berturut-turut.
Kebijakan Strategis yang Dinilai Merugikan
Selain dugaan penyimpangan internal, berbagai kebijakan strategis yang diambil direksi juga dianggap memperburuk performa perusahaan. Salah satu kebijakan kontroversial adalah penghentian kerja sama penjaminan di luar wilayah Banten dan pembatasan nilai penjaminan hanya sampai Rp500 juta bagi mitra luar daerah. Akibatnya, pendapatan jasa penjaminan anjlok hingga 43,35%, dari Rp390,5 miliar pada 2023 menjadi Rp221,2 miliar pada akhir 2024.
Proses persetujuan direksi pun dinilai tidak efisien. Jika sebelumnya keputusan bisa selesai dalam 3 hari kerja, kini membutuhkan waktu lebih dari 10 hari.
Sumber internal yang turut membocorkan informasi ini menyebut bahwa pencatatan kerugian hingga Rp957 juta juga disebabkan oleh pembentukan cadangan klaim berdasarkan rekomendasi OJK, meski bersifat asumtif dan masih bisa diperdebatkan secara akuntansi.
“Ini bukan semata soal kerugian, ini soal lemahnya tata kelola. Ketika hampir satu miliar rupiah raib bukan karena pasar, tapi karena salah urus, maka yang dipertaruhkan adalah kepercayaan publik,” tegas salah satu sumber internal yang meminta identitasnya dirahasiakan.
Publik Menanti Sikap Tegas Pemprov
Jika isu pertahanan direksi benar terjadi dalam RUPS malam ini, maka keputusan tersebut akan menjadi ujian integritas dan komitmen Pemprov Banten terhadap transparansi dan akuntabilitas BUMD di bawah naungannya. Masyarakat pun menanti apakah Pemprov Banten akan berpihak pada kepentingan publik atau justru membiarkan praktik tata kelola bermasalah terus berlangsung. (RST)