JAKARTA, SEBARAYA.COM — Dalam rangka memperingati International CdLS Awareness Day, Yayasan CdLS Indonesia (YSCI) berkolaborasi dengan Prodia menyelenggarakan acara khusus bertema “Embrace Diversity, Achieve Equality”. Kegiatan ini menghadirkan 10 anak dengan sindrom Cornelia de Lange (CdLS) beserta orang tua mereka, para tenaga medis, serta sejumlah pengusaha yang peduli terhadap isu disabilitas dan inklusi sosial.
Acara ini menjadi panggung edukatif dan empatik bagi masyarakat luas untuk mengenal lebih dekat kondisi langka yang sering kali luput dari perhatian: sindrom Cornelia de Lange. Dengan mengangkat nilai keberagaman dan kesetaraan, YSCI ingin menekankan pentingnya perhatian berkelanjutan terhadap anak-anak dengan kebutuhan khusus seperti CdLS.
“Melalui kegiatan ini, kami ingin membuka mata publik tentang tantangan dan potensi anak-anak CdLS. Perhatian terhadap kondisi langka ini diharapkan tidak berhenti hanya saat peringatan. Komitmen jangka panjang dari semua pihak sangat dibutuhkan,” ujar Direktur YSCI, Dian Kurniati, dalam keterangan tertulisnya, yang diterima Redaksi Sebaraya.com, Rabu (28/5/2025).
Sindrom Cornelia de Lange atau Cornelia de Lange Syndrome (CdLS) adalah gangguan genetik langka yang pertama kali dijelaskan oleh dokter anak asal Belanda, Cornelia de Lange, pada tahun 1933. Diperkirakan, sindrom ini memengaruhi antara 1 dari 10.000 hingga 1 dari 30.000 kelahiran hidup.
Anak-anak dengan CdLS umumnya memiliki ciri fisik khas seperti alis yang menyatu di tengah, bulu mata panjang, hidung kecil dan pesek, mulut mengarah ke bawah, serta kepala kecil (mikrosefali). Di samping itu, mereka sering mengalami keterlambatan pertumbuhan sejak lahir, kesulitan makan, serta kelainan pada ekstremitas seperti jari pendek, jari kelima melengkung, atau jari kaki menyatu.
“Keluhan yang muncul tidak hanya bersifat fisik, tapi juga mencakup disabilitas intelektual, gangguan bicara dan pendengaran, serta masalah perilaku seperti menggigit atau memukul diri sendiri,” tambah Dian.
Penanganan CdLS tidak bisa dilakukan secara parsial. Diperlukan pendekatan medis multidisipliner yang melibatkan dokter anak, ahli gizi, psikolog, terapis wicara, dan berbagai tenaga kesehatan lainnya. Lebih dari itu, dukungan keluarga menjadi fondasi penting dalam menghadapi tantangan jangka panjang yang dihadapi anak-anak dengan CdLS.
YSCI berharap, melalui peringatan Hari Kesadaran CdLS Internasional, masyarakat semakin menyadari pentingnya membangun sistem pendukung yang inklusif dan berkelanjutan untuk anak-anak dengan kebutuhan khusus. Kolaborasi dengan berbagai pihak, termasuk sektor swasta seperti Prodia, menjadi langkah nyata untuk memperluas jangkauan advokasi dan pelayanan.
Dengan semangat “Embrace Diversity, Achieve Equality”, peringatan ini menjadi ajakan bagi semua pihak untuk tidak hanya mengenali keberagaman, tapi juga memberikan ruang, perhatian, dan kesempatan yang setara bagi anak-anak dengan CdLS agar mereka dapat tumbuh dan berkembang dengan optimal di tengah masyarakat. (RST)