JAKARTA, SEBARAYA.COM – Pernyataan kontroversial Presiden Joko Widodo mengenai keberpihakan dalam pemilihan presiden telah menciptakan gelombang kecaman dan kekhawatiran terhadap prinsip-prinsip dasar demokrasi elektoral.
Pernyataan tersebut, yang menyatakan bahwa Presiden dan Menteri dapat berpihak pada kandidat tertentu selama tidak memanfaatkan fasilitas negara, dinilai sebagai potensi pelanggaran serius terhadap integritas pemilihan umum di Indonesia.
Dalam sebuah konferensi pers di Jakarta, Kamis (25/1/2024), Ketua Perkumpulan Jaga Pemilu, Natalia Soebagjo, menegaskan bahwa pernyataan tersebut merusak landasan demokrasi. Ia mempertanyakan apakah hal ini akan membenarkan pelanggaran yang telah menjadi kebiasaan di masyarakat.
Keputusan Presiden untuk mengeluarkan pernyataan tersebut di tengah-tengah kampanye, dengan latar belakang pesawat udara militer dan didampingi oleh pejabat-pejabat tinggi negara, menimbulkan kekhawatiran akan adanya penggunaan fasilitas negara untuk kepentingan politik tertentu.
Ketua Badan Pengawas Perkumpulan Jaga Pemilu, Erry Riyana Hardjapamekas, menekankan bahwa sebagai Kepala Negara, Presiden harus menempatkan dirinya di atas segala golongan dan kepentingan.
Ia menyoroti bahwa keberpihakan dari pejabat negara, termasuk Presiden, adalah pelanggaran terhadap undang-undang yang melarang intervensi dalam proses pemilihan umum.
Sementara itu, salah satu inisiator Perkumpulan Jaga Pemilu, Titi Anggraini, menambahkan bahwa pernyataan Presiden tidak sesuai dengan ketentuan yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017. Pasal-pasal dalam undang-undang tersebut jelas melarang pejabat negara untuk melakukan tindakan yang menguntungkan peserta pemilu tertentu.
Dengan demikian, pernyataan Presiden tersebut menciptakan kekhawatiran akan kemungkinan penyimpangan dalam proses demokrasi elektoral di Indonesia. Pelanggaran terhadap prinsip-prinsip yang diatur dalam undang-undang dapat mengancam kemajuan demokrasi dan integritas pemilihan umum di negara ini. (RST)