SEBARAYA.COM – Ketika kita membicarakan rokok, pembahasan sering kali berkutat pada kesehatan masyarakat atau pendapatan negara. Namun, ada satu hal yang sering terabaikan: bagaimana kebijakan cukai yang lemah sesungguhnya menjadi subsidi terselubung bagi industri rokok, sementara masyarakat harus menanggung kerugian besar dari dampaknya.
Di Indonesia, rokok adalah salah satu barang konsumsi yang paling terjangkau. Dengan harga rata-rata Rp30.000 per bungkus, rokok bahkan lebih murah dibandingkan kebutuhan pokok lainnya seperti daging atau susu. Hal ini dimungkinkan karena kebijakan cukai yang terlalu lunak.
Saat ini, rata-rata kenaikan cukai rokok hanya sekitar 10-12% per tahun, bahkan pada beberapa tahun tidak dinaikkan sama sekali. Padahal, untuk membuat rokok tidak lagi terjangkau, kenaikan cukai perlu berada di angka minimal 20-30% secara konsisten setiap tahun.
Rendahnya cukai rokok ini, secara tidak langsung, adalah subsidi negara untuk industri yang justru merugikan bangsa. Industri rokok menikmati pasar yang luas dengan aksesibilitas tinggi, sementara biaya pengobatan akibat dampak kesehatan rokok justru ditanggung oleh pemerintah dan masyarakat.
Menurut BPJS Kesehatan, klaim untuk penyakit terkait rokok mencapai Rp400 triliun per tahun—angka ini dua kali lipat dari pendapatan negara melalui cukai rokok yang hanya sekitar Rp200 triliun. Artinya, negara secara tidak langsung membayar lebih banyak untuk menutupi kerugian dibandingkan keuntungan yang dihasilkan.
Kebijakan ini tidak hanya salah arah, tetapi juga tidak adil. Di satu sisi, pemerintah menggalakkan program kesehatan untuk menurunkan angka penyakit kronis seperti kanker dan penyakit jantung. Namun, di sisi lain, kebijakan cukai yang lemah justru memperbesar risiko masyarakat terpapar bahaya rokok. Upaya pengendalian konsumsi menjadi tidak efektif jika harga rokok tetap murah dan mudah diakses oleh semua kalangan, termasuk anak-anak dan remaja.
Selain itu, rendahnya tarif cukai juga menciptakan ketimpangan sosial. Rokok sering kali menjadi pengeluaran terbesar pada rumah tangga miskin, mengalahkan kebutuhan pokok seperti pendidikan dan makanan bergizi. Data menunjukkan bahwa prevalensi merokok di kalangan penduduk miskin jauh lebih tinggi dibandingkan kelompok berpenghasilan tinggi. Dengan kata lain, subsidi terselubung ini justru memperburuk kondisi kelompok masyarakat yang paling rentan.
Kenaikan cukai rokok adalah langkah yang tidak hanya masuk akal, tetapi juga mendesak. Kebijakan ini memiliki potensi ganda: mengurangi prevalensi rokok sekaligus meningkatkan pendapatan negara. Dengan alokasi yang tepat, tambahan pendapatan dari cukai rokok dapat digunakan untuk program-program yang langsung menyasar kesehatan dan kesejahteraan masyarakat, seperti Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), pengendalian stunting, dan diversifikasi pendapatan petani tembakau.
Tentu, ada kekhawatiran tentang dampaknya pada petani tembakau. Namun, kita perlu melihat gambaran yang lebih luas. Petani tembakau di Indonesia sebagian besar hidup di bawah garis kesejahteraan, meskipun industri rokok menghasilkan keuntungan besar. Solusinya bukan dengan mempertahankan ketergantungan pada tembakau, tetapi dengan mendorong diversifikasi tanaman dan memberikan pelatihan keterampilan untuk pekerjaan yang lebih berkelanjutan.
Kebijakan cukai yang lebih tegas akan membawa Indonesia keluar dari siklus subsidi terselubung ini. Ini bukan hanya tentang mengumpulkan pajak atau mengurangi konsumsi rokok, tetapi tentang menciptakan kebijakan yang adil dan bertanggung jawab bagi seluruh rakyat Indonesia.
Sudah waktunya kita berhenti memanjakan industri rokok dengan kebijakan yang lunak. Pemerintah harus mengambil langkah tegas untuk menaikkan cukai secara signifikan, menyederhanakan tarif cukai, dan mengalokasikan hasilnya untuk kebutuhan yang benar-benar mendukung masa depan bangsa. Jika tidak sekarang, kapan lagi? (***)