Ancaman Besar, Produk Palsu Rugikan Indonesia hingga Rp291 Triliun

JAKARTA, SEBARAYA.COM – Peredaran produk palsu di Indonesia kian mengkhawatirkan dan berdampak besar terhadap perekonomian nasional. Berdasarkan Studi Dampak Pemalsuan Terhadap Perekonomian Indonesia yang dilakukan oleh Masyarakat Indonesia Anti Pemalsuan (MIAP) bersama Institute for Economic Analysis of Law and Policy – Universitas Pelita Harapan, kerugian negara akibat peredaran barang ilegal ini mencapai Rp291 triliun.

Direktur Eksekutif MIAP, Justisiari P. Kusumah, menegaskan bahwa produk palsu tidak hanya merugikan pemilik hak kekayaan intelektual, tetapi juga mengurangi potensi penerimaan pajak dan menghambat penciptaan lapangan kerja.

“MIAP memandang upaya untuk melindungi kekayaan intelektual perlu dilakukan secara sinergis dan berkelanjutan oleh seluruh pemangku kepentingan. Kemajuan teknologi dan metode distribusi yang semakin kompleks menjadikan pengawasan terhadap produk palsu semakin sulit,” ujarnya dalam diskusi bertajuk *Pelindungan Kekayaan Intelektual di Indonesia melalui Upaya Penegahan oleh Bea Cukai* di Jakarta, Selasa (11/3/2025).

Lebih lanjut, Justisiari menambahkan bahwa pelabuhan dan pasar tradisional masih menjadi jalur utama masuknya produk ilegal, termasuk barang palsu. Pengawasan yang masih terbatas membuat produk-produk ini dengan mudah menyebar ke pasaran.

“Terlebih lagi, perubahan pola belanja masyarakat melalui platform e-dagang menjadi tantangan baru. Kami menemukan semakin banyak peredaran produk palsu melalui distribusi online yang langsung menyasar konsumen,” tambahnya.

Dampak Ekonomi dan Regulasi Ketat

Senada dengan itu, Direktur Jenderal Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan HAM, Razilu, menyoroti dampak besar peredaran barang palsu terhadap ekonomi nasional. Data dari Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) dan Kantor Kekayaan Intelektual Uni Eropa mencatat bahwa pada 2019, perdagangan barang palsu dan bajakan mencapai 3,39% dari total perdagangan dunia atau setara dengan 509 miliar USD.

“Peredaran barang palsu tidak hanya merugikan pemilik hak kekayaan intelektual, tetapi juga mengancam keselamatan konsumen serta menekan pertumbuhan ekonomi nasional. Produk ilegal ini juga menghambat inovasi dan kreativitas, serta mengurangi potensi penerimaan pajak negara,” kata Razilu.

DJKI terus berupaya meningkatkan edukasi dan kesadaran publik terkait pentingnya perlindungan Kekayaan Intelektual (KI). Razilu mengajak seluruh pemangku kepentingan untuk bekerja sama dalam memberantas peredaran barang palsu.

“Edukasi merupakan prioritas utama kami. Kami secara rutin mengadakan webinar serta bekerja sama dengan berbagai pihak untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya Kekayaan Intelektual. Dengan perlindungan yang kuat, kita dapat mendorong inovasi dan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan,” tambahnya.

Bea Cukai Perketat Pengawasan Produk Ilegal

Sementara itu, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan RI turut memperkuat langkah-langkah penegakan hukum terhadap pelanggaran Hak Kekayaan Intelektual (HKI). Kepala Seksi Kejahatan Lintas Negara DJBC, R. Tarto Sudarsono, menyatakan bahwa Indonesia masih masuk dalam daftar *Priority Watch List* (PWL) oleh United States Trade Representative (USTR) akibat tingginya angka pelanggaran HKI.

Untuk mengatasi hal ini, Bea Cukai menerapkan dua mekanisme utama, yakni pengawasan aktif melalui *ex-officio* dan pengendalian niaga berdasarkan laporan dari pemilik merek. Sepanjang 2024, jumlah pendaftaran merek untuk perlindungan meningkat dua kali lipat dibanding tahun sebelumnya, dengan 76 merek telah terdaftar hingga Februari.

Selain itu, DJBC berkolaborasi dengan berbagai instansi dalam Satuan Tugas (Satgas) HKI untuk memperkuat sinergi penegakan hukum.

“Hingga kini, sejumlah barang ilegal telah berhasil disita dan dimusnahkan, termasuk produk-produk bermerek yang terbukti melanggar HKI. Penegakan hukum atas HKI bukan hanya soal kepatuhan regulasi, tetapi juga menjaga kepercayaan konsumen dan menciptakan iklim usaha yang sehat,” ujar Tarto.

Dari sisi regulasi, Bea Cukai telah memiliki landasan hukum yang kuat, di antaranya Peraturan Pemerintah (PP) No. 20 Tahun 2017 dan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 40 Tahun 2018, yang memberikan kewenangan bagi Bea Cukai untuk menahan barang yang melanggar HKI sebelum masuk ke pasar.

“Peran Bea Cukai di perbatasan sangat penting dalam mencegah masuknya barang-barang ilegal. Jika pemegang hak telah memberikan rekomendasi, kami bisa langsung bertindak untuk menahan barang di pelabuhan sebelum diedarkan ke pasar,” tegasnya.

Dengan meningkatnya ancaman produk palsu terhadap perekonomian nasional, sinergi antara pemerintah, pelaku industri, dan masyarakat menjadi kunci dalam memberantas peredaran barang ilegal. Langkah-langkah strategis yang lebih ketat diharapkan mampu menekan angka pemalsuan dan melindungi hak kekayaan intelektual di Indonesia. (RST)

Silakan baca konten menarik lainnya dari Sebaraya.com di →

Pos terkait